Ranah 3 Warna
Penulis : A. Fuadi
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : 2012 (Cetakan ke-6)
Kota
Terbit : Jakarta
Tebal : 473 halaman
Oleh : Syaiful Anwar*
“Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua
kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama
baik dan kelakuan. Elok-elok menyeberang. Jangan sampai titian patah. Elok-elok
di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” Pesan yang dilontarkan ayahnya Alif
kepadanya sebelum ia pergi merantau ke Bandung untuk memasuki dunia perkuliahan
yang dikisahkan dalam Novel Ranah 3 Warna.
Novel ini merupakan novel kedua dari trilogi
Novel Negeri 5 Menara, novel trilogi yang menceritakan kisah Alif, seorang anak
kampung dari pelosok kampung Bayur di Pesisir Danau Maninjau Sumatera Barat
yang berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Dengan mantra-mantranya yang
didapat dari gurunya ketika ia masih mondok di Pondok Madani saat itu, ia pun
berhasil meraih mimpinya dalam kehidupannya setelah menerapkan mantra tersebut
di dalamnya.
Pada novel ini diceritakan kisah perjalanan Alif
setelah lulus dari Pondok Madani. Pondok di mana ia berjumpa dengan sahibul menara sebagaimana telah
diceritakan di Novel Negeri 5 Menara.
Sejak lama ia berkeinginan untuk mengikuti
jejak Pak B.J. Habibie, yaitu kuliah di ITB dan kemudian bisa melanjutkan
studinya ke Amerika. Bagi sebagian
besar masyarakat Maninjau, Sumatera Barat, tempat Alif berasal, hal ini
sangat-sangat mustahil. Alif tak punya ijazah SMA sebagai syarat bisa mengikuti
ujian UMPTN. Apalagi sampai merantau ke Amerika. Namun cemoohan dan kepesimisan
orang-orang itu malah menjadi cambuk bagi Alif untuk mewujudkan impiannya,
meski sulit.
Man
jadda wa jada,
mantra Alif yang selama ini tokcer kembali dirapal. Untuk bisa kuliah, maka
Alif pertama-tama harus ikutan ujian persamaan SMA, lalu ikut ujian UMPTN. Nah,
dengan latihan keras tingkat tinggi ala sparta ditambah doa dan dukungan
segenap keluarga dan – tentu saja – mantra man
jadda wa jada, Alif berhasil tembus jurusan Hubungan
Internasional – FISIP Unpad.
Sebagaimana
pepatah imam Syafi’i “Merantaulah,
disana kau akan temui pengganti teman dan kerabat” Alif menemukan
sahabat pengganti sahibul
menara – yang telah berpencar kemana-mana – yaitu Grup Uno, terdiri dari
Alif, Agam, Memet dan Wira. Kisah lucu kembali mewarnai kehidupan Alif. Mulai
dari pemberontakan pada saat ospek, Bang Togar pimpinan redaksi majalah kampus
yang sombongnya minta ampun hingga perkenalannya dengan Raisa, gadis yang
mencuri perhatiannya.
Namun
kehidupan Alif tidak lurus-lurus saja. Bagaikan roda, suatu saat ia akan
berputar ke bawah.
Setahun
kemudian, ayah Alif sakit parah dan wafat tak lama kemudian. Meninggalkan Alif,
amak, dan
kedua adiknya tanpa seorang kepala keluarga. Tanpa sosok seorang ayah, Alif
gamang antara melanjutkan kuliah atau berhenti kuliah dan bekerja membanting
tulang membiayai amak
dan kedua adiknya.
Kehidupan
Alif lalu berubah drastis. Bekerja paruh waktu sebagai sales, mengajar privat
hingga jualan kain songket dijalani demi kehidupannya yang harus terus berjalan
di Bandung. Apalagi setelah ayahnya tiada, maka tak ada lagi yang membiayai
kuliahnya.
Lalu
seperti biasa, dengan merapal mantra man
jadda wa jadda (siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil),
Alif mencoba melawan nasib. Tapi kali ini nasib Alif tidak seberuntung
sebelumnya. Dagangannya yang tidak laris, nilai ujian yang jebol, dirampok
preman hingga jatuh sakit terkena types
malah menghantam Alif.
Di sinilah menariknya buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara ini dibanding
bukunya yang pertama. A. Fuadi mampu membawa pembaca ikut menyelami pahit
manisnya lika-liku kehidupan yang dialami Alif. Konflik yang diciptakan sangat
hidup, didukung dengan tokoh-tokoh lain yang berperan penting bagi Alif.
Seperti tokoh ayah yang selalu menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang
berbeda. Lalu tokoh amak sebagai janda yang tetap tegar meski telah ditinggal
mati suaminya. Meski hidup kesusahan, alih-alih menyuruh Alif pulang ke
Maninjau, ia malah terus memompa semangat anak pertamanya itu. “Salasaian
apo yang alah waang mulai,” selesaikan apa yang sudah kamu mulai, begitu
ucapnya ketika Alif mengabarkan ingin drop out dari kampusnya di Unpad.
Ditambah lagi dengan teman-temannya geng Uno yang selalu memberinya semangat.
Apa yang dialami Alif agaknya bisa dialami siapa saja.
Namun yang berbeda adalah bagaimana menyikapinya. A. Fuadi menyampaikan
berbagai pesan moral tersebut kepada pembaca dengan indah tanpa ada kesan
menggurui. Ia menambahkan banyak kata-kata bijak yang bisa memacu semangat
siapa saja, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun Prancis.
Dalam
novelnya terlihat jelas juga kegelisahan penulis tentang Indonesia. Hal itu
digambarkannya dalam bab Negeri Utopia. Alif terkagum-kagum dengan masyarakat
Quebec, tempat ia mendapat beasiswa pertukaran pelajar. Ia mengangankan
Indonesia bisa meniru Kanada dalam hal perbedaan pendapat. Ketika masyarakat
Quebec ingin memisahkan diri dari Kanada, tidak ada sedikitpun konflik apalagi
kontak fisik antar sesama sipil maupun aparat. Semua bebas berpendapat dan
ketika keputusan telah didapat, seluruh warga menerimanya dengan besar hati,
menghargai. Tokoh utama juga terkesima karena tingkat kriminal di sana adalan
nol. Pintu rumah tak pernah dikunci siang dan malam namun tak pernah terjadi
pencurian.
“Semua
orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Jika ada yang kurang
beruntung, maka pemerintah berkewajiban memberikan santunan,” jelas Franc, homolouge Alif di
Quebec.
Novel yang terinspirasi dari kisah nyata ini juga
terasa berwarna dengan sedikit sentuhan kisah percintaannya. Alif yang jatuh
cinta pada Raisa, tetangga kosnya. Ia kerap berdebar-debar ketika berbicara
dengan perempuan cerdas yang dianggapnya berkilauan ini. Namun sayang, Raisa
malah berjodoh dengan Randai, sahabat sekaligus saingan Alif sejak kecil.
Akhirnya, cinta Alif tak pernah tersampaikan. Hanya membeku di sepucuk surat
yang telah ditulisnya bertahun yang lalu.
Banyak hikmah pelajaran danyang dapat diambil dari
kisah perjalanan Alif yang dikisahkan dalam novel ini. Salah satunya seperti
apa yang diingat olehnya dari nasehat Kiyai Rais,
“Anak-anakku, sungguh do’a itu didengar Tuhan, tapi
Dia berhak mengabulkan dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita
minta, bisa bih cocok ditunda, atau diganti dengan yang lebih cocok buat kita.”
Mengutip
penggalan kalimat dari halaman penutup
novel ini,
“Jarak
antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang
aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari
pangkal sampai ujung yang paling ujung yang paling ujung…”
“Bagaimanapun
tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah
digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses
terbuka. … Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.”
Ranah 3 warna yang berarti Bandung, Yordania, dan
Kanada ini akhirnya membawa kita pada indahnya tiga daerah berbeda rasa
ini. Penulis memberikan deskripsi yang jelas untuk membangun imajinasi pembaca
tentang ketiganya.
Jika anda telah mulai membaca buku ini, kemungkinan besar anda tak akan
berhenti membalik halamannya hingga anda selesai membacanya. Maka persiapkanlah
segelas minuman hangat dan banyak cemilan. Selamat membaca !
* Mahasiswa Al-Azhar 2012
0 comments:
Post a Comment