Sunday, March 10, 2013

Ranah 3 Warna



                                                                Ranah 3 Warna

Judul Buku   : Ranah 3 Warna
Penulis           : A. Fuadi
Penerbit         : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit  : 2012 (Cetakan ke-6)
Kota Terbit    : Jakarta
Tebal              : 473 halaman
Oleh                : Syaiful Anwar*






“Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama baik dan kelakuan. Elok-elok menyeberang. Jangan sampai titian patah. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” Pesan yang dilontarkan ayahnya Alif kepadanya sebelum ia pergi merantau ke Bandung untuk memasuki dunia perkuliahan yang dikisahkan dalam Novel Ranah 3 Warna.

Novel ini merupakan novel kedua dari trilogi Novel Negeri 5 Menara, novel trilogi yang menceritakan kisah Alif, seorang anak kampung dari pelosok kampung Bayur di Pesisir Danau Maninjau Sumatera Barat yang berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Dengan mantra-mantranya yang didapat dari gurunya ketika ia masih mondok di Pondok Madani saat itu, ia pun berhasil meraih mimpinya dalam kehidupannya setelah menerapkan mantra tersebut di dalamnya.

Pada novel ini diceritakan kisah perjalanan Alif setelah lulus dari Pondok Madani. Pondok di mana ia berjumpa dengan sahibul menara sebagaimana telah diceritakan di Novel Negeri 5 Menara. 

Sejak lama ia berkeinginan untuk mengikuti jejak Pak B.J. Habibie, yaitu kuliah di ITB dan kemudian bisa melanjutkan studinya ke Amerika. Bagi sebagian besar masyarakat Maninjau, Sumatera Barat, tempat Alif berasal, hal ini sangat-sangat mustahil. Alif tak punya ijazah SMA sebagai syarat bisa mengikuti ujian UMPTN. Apalagi sampai merantau ke Amerika. Namun cemoohan dan kepesimisan orang-orang itu malah menjadi cambuk bagi Alif untuk mewujudkan impiannya, meski sulit.

Man jadda wa jada, mantra Alif yang selama ini tokcer kembali dirapal. Untuk bisa kuliah, maka Alif pertama-tama harus ikutan ujian persamaan SMA, lalu ikut ujian UMPTN. Nah, dengan latihan keras tingkat tinggi ala sparta ditambah doa dan dukungan segenap keluarga dan – tentu saja – mantra man jadda wa jada, Alif berhasil tembus  jurusan Hubungan Internasional – FISIP Unpad.

Sebagaimana pepatah imam Syafi’i “Merantaulah, disana kau akan temui pengganti teman dan kerabat” Alif menemukan sahabat pengganti sahibul menara – yang telah berpencar kemana-mana – yaitu Grup Uno, terdiri dari Alif, Agam, Memet dan Wira. Kisah lucu kembali mewarnai kehidupan Alif. Mulai dari pemberontakan pada saat ospek, Bang Togar pimpinan redaksi majalah kampus yang sombongnya minta ampun hingga perkenalannya dengan Raisa, gadis yang mencuri perhatiannya.

Namun kehidupan Alif tidak lurus-lurus saja. Bagaikan roda, suatu saat ia akan berputar ke bawah.

Setahun kemudian, ayah Alif sakit parah dan wafat tak lama kemudian. Meninggalkan Alif, amak, dan kedua adiknya tanpa seorang kepala keluarga. Tanpa sosok seorang ayah, Alif gamang antara melanjutkan kuliah atau berhenti kuliah dan bekerja membanting tulang membiayai amak dan kedua adiknya.

Kehidupan Alif lalu berubah drastis. Bekerja paruh waktu sebagai sales, mengajar privat hingga jualan kain songket dijalani demi kehidupannya yang harus terus berjalan di Bandung. Apalagi setelah ayahnya tiada, maka tak ada lagi yang membiayai kuliahnya.

Lalu seperti biasa, dengan merapal mantra man jadda wa jadda (siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil), Alif mencoba melawan nasib. Tapi kali ini nasib Alif tidak seberuntung sebelumnya. Dagangannya yang tidak laris, nilai ujian yang jebol, dirampok preman hingga jatuh sakit terkena types malah menghantam Alif.

Di sinilah menariknya buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara ini dibanding bukunya yang pertama.  A. Fuadi mampu membawa pembaca ikut menyelami pahit manisnya lika-liku kehidupan yang dialami Alif. Konflik yang diciptakan sangat hidup, didukung dengan tokoh-tokoh lain yang berperan penting bagi Alif. Seperti tokoh ayah yang selalu menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda. Lalu tokoh amak sebagai janda yang tetap tegar meski telah ditinggal mati suaminya. Meski hidup kesusahan, alih-alih menyuruh Alif pulang ke Maninjau, ia malah terus memompa semangat anak pertamanya itu. “Salasaian apo yang alah waang mulai,” selesaikan apa yang sudah kamu mulai, begitu ucapnya ketika Alif mengabarkan ingin drop out dari kampusnya di Unpad. Ditambah lagi dengan teman-temannya geng Uno yang selalu memberinya semangat.

Apa yang dialami Alif agaknya bisa dialami siapa saja. Namun yang berbeda adalah bagaimana menyikapinya. A. Fuadi menyampaikan berbagai pesan moral tersebut kepada pembaca dengan indah tanpa ada kesan menggurui. Ia menambahkan banyak kata-kata bijak yang bisa memacu semangat siapa saja, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun Prancis.

Dalam novelnya terlihat jelas juga kegelisahan penulis tentang Indonesia. Hal itu digambarkannya dalam bab Negeri Utopia. Alif terkagum-kagum dengan masyarakat Quebec, tempat ia mendapat beasiswa pertukaran pelajar. Ia mengangankan Indonesia bisa meniru Kanada dalam hal perbedaan pendapat. Ketika masyarakat Quebec ingin memisahkan diri dari Kanada, tidak ada sedikitpun konflik apalagi kontak fisik antar sesama sipil maupun aparat. Semua bebas berpendapat dan ketika keputusan telah didapat, seluruh warga menerimanya dengan besar hati, menghargai. Tokoh utama juga terkesima karena tingkat kriminal di sana adalan nol. Pintu rumah tak pernah dikunci siang dan malam namun tak pernah terjadi pencurian.

“Semua orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Jika ada yang kurang beruntung, maka pemerintah berkewajiban memberikan santunan,” jelas Franc, homolouge Alif di Quebec.

Novel yang terinspirasi dari kisah nyata ini juga terasa berwarna dengan sedikit sentuhan kisah percintaannya. Alif yang jatuh cinta pada Raisa, tetangga kosnya. Ia kerap berdebar-debar ketika berbicara dengan perempuan cerdas yang dianggapnya berkilauan ini. Namun sayang, Raisa malah berjodoh dengan Randai, sahabat sekaligus saingan Alif sejak kecil. Akhirnya, cinta Alif tak pernah tersampaikan. Hanya membeku di sepucuk surat yang telah ditulisnya bertahun yang lalu.

Banyak hikmah pelajaran danyang dapat diambil dari kisah perjalanan Alif yang dikisahkan dalam novel ini. Salah satunya seperti apa yang diingat olehnya dari nasehat Kiyai Rais,

Anak-anakku, sungguh do’a itu didengar Tuhan, tapi Dia berhak mengabulkan dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita minta, bisa bih cocok ditunda, atau diganti dengan yang lebih cocok buat kita.”

Mengutip  penggalan kalimat dari halaman penutup novel ini,
“Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung yang paling ujung…”

“Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. … Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.”

Ranah 3 warna yang berarti Bandung, Yordania, dan Kanada ini akhirnya membawa kita pada indahnya  tiga daerah berbeda rasa ini. Penulis memberikan deskripsi yang jelas untuk membangun imajinasi pembaca tentang ketiganya.

Jika anda telah mulai membaca buku ini, kemungkinan besar anda tak akan berhenti membalik halamannya hingga anda selesai membacanya. Maka persiapkanlah segelas minuman hangat dan banyak cemilan. Selamat membaca !




*  Mahasiswa Al-Azhar 2012

0 comments:

Post a Comment