Belajar Leadership Ala Sahabat Nabi
”Setiap kamu adalah pemimpin yang akan
dimintai pertanggungajawaban atas kepemimpinannya. seorang kepala negara akan
diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya.Seorang istri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya.bahkan seorang
pembantu atau pekerja rumah tangga yang memelihara barang milik majikannya juga
akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimipin dan akan
diminta pertanggungjawaban dari hal yang dipimpinnya.”
(HR.Bukhari Muslim)
Hadits diatas mengawali ulasan saya
tentang leadership. Sebuah hadits yang sudah tidak asing lagi bagi kita karena
sering kita jumpai dan dengar mungkin dari semenjak kita duduk di sekolah
tingkat menengah (SMP/MTs). Hadits ini tergolong masyhur bagi umat Islam tetapi
melihat kenyataan figur-figur pemimpin masa kini seolah secara perlahan esensi
sabda nabi ini hanya berupa khazanah penghias lembaran-lembaran pustaka Islam.
Cahaya benderang wahyu ilahi yang terucap oleh lidah suci sang nabi seolah
redup hati umatnya, semakin redup dan terus memadam seiring dengan jauhnya
jarak masa antara umatnya dengan masa hidup sang baginda nabi tercinta,
Sayyidina Muhammad SAW.
Kesadaran mengkaji sirah para sahabat
nabi dan keteladanan mereka dalam memimpin menjadi sangat penting demi
menyadarkan umat akan agungnya sejarah para sahabat. Dalam pencarian karakter
pemimpin ideal umat Islam sebenarnya kita telah memiliki rujukan nyata yaitu
para sahabat nabi. Termasuk dalam realisasi hadits diatas yaitu tentang
kepemimpinan, kita memiliki figur-figur agung yang patut kita contoh. Mereka
telah terbukti mampu meresapi sabda mulia itu dengan nyata. Sebut saja Abu Bakar as-Siddiq r.a yang terpilih
menjadi Khalifah pertama dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif bijaksana. Umar
bin Khattab r.a Khalifah kedua sangat terkenal akan ketegasannya dalam membela
keadilan. Utsman bin Affan r.a masyhur akan langkah inovatifnya yaitu
menyatukan ummat dalam satu mushaf al-Qur’an. Dan Ali bin Abi Thalib r.a Sepupu
sekaligus menantu nabi yang dikenal cerdas dan sederhana tetap tegar mengemban
amanah mulia menjadi khalifah keempat walau dihadang berbagai fitnah. Sehingga
layak 4 sahabat nabi itu mendapat gelar mulia sebagai khulafaul rasyidin.
Mari kita bahas tentang teladan kepemimpinan yang
dicontohkan para sahabat nabi, sampai sejarah Islam telah mencatat mereka dengan
tinta emas. Semoga menjadi bekal bagi kita bagaimana bersikap agar menjadi
pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya.
1.
Niat tulus
Niat selalu menjadi nomor wahid dalam setiap
gerak-gerik seorang muslim terlebih dia seorang pemimpin. Shalat butuh niat,
puasa, zakat, haji, dan lain-lain selalu sepaket dengan niat, memangnya ada apa
dengan niat? Yah karena niat adalah jiwa dari pekerjaan (ruhul ‘amal)
wajar kalau imam nawawi dalam kitab ‘Arbain Annawawiyah, pertama kali yang dicantumkan adalah hadits
tentang niat. Karena peran niat sangat
urgent dalam perjalanan sebuah pengabdian. Seorang pemimpin yang berniat tulus,
dia tidak akan mengeluh ketika menemukan kesulitan, tidak akan bosan ketika
dihadapkan pada rutinitas yang menjenuhkan. Tidak merasa berat hati untuk
memikirkan lembaga serta warga yang dipimpinnya. Lihatlah para sahabat nabi,
dengan niat tulus mencari ridho Allah dan ridho rosulullah mereka tetap tegar
menghadapi berbagai ujian yang menerpa kaum muslimin. Tidak pernah ada kata
“bosan” terlontar dari bibir dan hati mereka, padahal tak terbayangkan oleh
kita betapa beratnya perjuangan menegakan syari’at allah swt. ditengah-tengah
perlawanan kaum Kafir dan yahudi. Dan bagaimana sengitnya peperangan yang harus
dihadapi para sahabat nabi.. Begitupun sepeninggal nabi, para sahabat dengan
niat tulusnya mampu memikul estafeta dakwah islamiyah sehingga cahaya islam
terus menyebar keberbagai penjuru dunia.
2.
Setia (Loyal)
Masih ingatkah kisah Abu Bakar as-Siddiq r.a ketika
mendampingi baginda nabi berhijrah ke Madinah? beliau dengan setia menemani
nabi didalam gua tsur, di gua itu beliau rela menahan sakit ketika kaki beliau
dipatuk ular karena khawatir jikalau nabi yang sedang tertidur pulas
dipangkuannya kaget dan terbangun.
Disepanjang jalan menuju madinah Abu Bakar as-Siddiq r.a berpindah-pindah
posisi kadang disamping kanan nabi, disamping kiri nabi, didepan Nabi karena
khawatir ada musuh didepan, kadang dibelakang
nabi khawatir ada musuh dari arah belakang. Loyalitas yang dimiliki Abu
Bakar as-Siddiq r.a mengajarkan kepada kita akan urgensitas sebuah kesetiaan
terlebih dalam masa kritis. Sifat loyal
yang dahsyat ini membuat Abu Bakar as-Siddiq r.a dipercaya oleh nabi menjadi
sahabat setianya dan menjadi wakilnya dalam mengimami shalat kaum muslimin
ketika nabi berhalangan. Dan ketika pemilihan khalifah para sahabat dengan
sepakat memilih Abu Bakar as-Siddiq r.a sebagai khalifah pertama untuk memimpin
kaum muslimin pasca wafatnya baginda Nabi Muhammad Sallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Amanah (Trust)
Menjaga amanah dan mengembannya merupakan tugas paling
berat seorang pemimpin. Terbayang dihadapannya amanah yang sangat berat yaitu
memimpin umat sepeninggal nabi. Wajar beliau menangis karena bagi jiwa-jiwa
para sahabat nabi, sabda tentang amanah seorang pemimpin yang akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah swt masih terngiang jelas ditelinga dan
melekat dihati. Hal ini jarang sekali kita temukan dalam diri para pemimpin
masa kini, selain berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan, para pemimpin terpilih saat ini amat
sangat penuh suka cita menyambut
kemenangannya. Memang masih dalam tarap kewajaran menyambut kemenangan dengan
meriah tetapi yang amat disayangkan adalah integritas terhadap amanat yang
berat pertanggung jawabannya seakan tidak terlihat dalam benak mereka.
Kisah agung tentang menjaga nilai luhur sebuah amanah
dicontohkan juga oleh Umar bin Khattab r.a : Demi sebuah amanah beliau rela
berkeliling mengontrol keadaan rakyat yang dipimpinnya. Alkisah pada suatu malam
ia mendapati seorang Ibu yang anaknya meraung-raung menangis disekeliling kuali
yang sedang direbus diatas api. Umar bin Khattab r.a bertanya kenapa anak itu
menangis? Ibu itu menjawab “karena lapar” Umar bin Khattab r.a yang saat itu
didampingi oleh Aslam sengaja berdiam disitu sambil menunggu tangisan anak itu
reda, dan setelah lama tangisan anak itu belum reda juga. Kemudian Umar bin
Khattab r.a bertanya kembali : lalu apa yang dimasak dikuali itu? Ibu itu
menjawab liat saja sendiri, lalu dibukanya tutup kuali itu, dan ternyata
kagetlah Umar bin Khattab r.a karena ternyata kuali itu berisi batu yang sengaja dimasak oleh Ibu itu untuk mengelabui
anaknya supaya sabar menunggu dan tertidur. Hati Umar bin Khattab r.a seperti
tersayat maka bergegaslah Umar bin Khattab r.a pergi ke gudang untuk mengambil
sekarung gandum dan dipikulnya sendiri
diatas punggungya untuk dibawanya ketempat perempuan itu, Subhanallah...kira-kira
masih ada gak yah jaman sekarang tipe pemimpin yang seperti Umar bin
Khattab r.a. Rela berkorban menanggalkan baju kebesaran sebagai khalifah demi kesejahteraan
rakyatnya? Penulis berharap semoga saja masih ada.
4. Keberanian & Keteguhan hati (Courage)
Keberanian serta keteguhan hati
merupakan salah satu modal pokok mentalitas pemimpin. Ya para sahabat nabi
semuanya memiliki keberanian & keteguhan hati. Bagaimana tidak? Mereka
berani mengangkat senjata berjihad di jalan allah dalam memerangi kaum
musyrikin yang memerangi kaum muslimin dan berusaha memadamkan syiar islam.
Sebuah keberanian yang dilandasi keteguhan hati bahwa pertolongan dari Allah
swt senantiasa menyertai.
Mental berani
dan keteguhan hati semacam ini yang harus senantiasa tertanam dalam diri kita. Seharusnya para pemimpin muslim memiliki
mentalitas seperti yang dicontohkan para sahabat, mental baja dalam menegakan
kebenaran. Bukan mental pengecut apalagi mental bermuka ganda ciri khas kaum
hipokrit.
5. Pandangan Jauh kedepan (Vision)
Seorang pemimpin harus memiliki pandangan jauh kedepan. Pencapaian yang
direncanakan telah dipertimbangkan secara matang efek positif dan negatif yang akan
ditimbulkan dikemudian hari. Sebuah contoh Keputusan Umar bin Khattab r.a dalam
menggagas shalat tarawih agar dilakukan berjama’ah. Sungguh keputusan yang berani, tetapi visi
dari keputusan itu terasa membawa berkah bagi kemaslahatan umat dikemudian hari.
Begitu juga ijtihad briliant Utsman bin Affan r.a dalam menseragamkan umat Islam
dalam satu mushaf al-Qur’an.
Dari contoh diatas kita
bisa mempelajari akan pentingnya sebuah visi dalam diri seorang pemimpin. Karena
pemimpin yang tidak memiliki visi tidak akan mampu mengatasi polemik yang timbul
dihadapannya dengan baik dan bijaksana.
6.
Konsistensi terhadap kebenaran (Integritas)
Gambaran integritas yang tinggi pada diri sahabat nabi
tentu tidak bisa kita pungkiri. Dalam perjalanan kepemimpinan khulafaul
rasyidin, prinsip konsisten terhadap kebenaran begitu jelas tergambar.
Sebuah contoh Abu Bakar as-Siddiq r.a di era kepemimpinannya mampu mengatasi berbagai
polemik baru yang timbul seperti
munculnya nabi-nabi palsu dan golongan yang ingkar zakat. Demi mempertahankan
kebenaran Abu Bakar as-Siddiq r.a dengan tegas memerangi mereka. Sehingga
fitnah tersebut musnah dan tidak sampai menyebar luas.
7.
Kesederhanaan (Simplicity)
Menjadi khalifah atau seorang pemimpin, bagi para sahabat
bukanlah hal prestisius yang membuat diri mereka jumawa dan meninggalkan
prinsip kesederhanaan yang diajarkan rasulullah saw. Tentu bukan perkara sulit bagi Abu Bakar
as-Siddiq r.a untuk memiliki istana megah, singgasana beralas sutera jika ia
menghendakinya, dan bisa saja Umar bin Khattab r.a demi kenyamanannya beliau mengangkat
pengawal untuk menjaganya siang malam. Tetapi hal itu tidak terjadi, mereka
lebih memilih menjadi pemimpin yang nyaman dalam kesederhanaan. Seperti
dikisahkan tentang kagetnya utusan kaisar roma saat menemui Umar bin Khattab
r.a yang sedang tertidur dibawah pohon, tanpa singgasana mewah, mahkota berhias
permata, atau dijaga pengawal gagah. Dari kisah inilah masyhur pujian terhadap Umar
bin Khattab r.a yang berbunyi : ‘Adalta Fa Aminta Fa Nimta Ya ‘Umar” artinya
: “Wahai Umar karena kau adil maka kau aman, dan kau tertidur tenang”.
Dan masih banyak
lagi nilai-nilai leadership yang bisa kita
petik dari sirah para sahabat. Untaian mutiara teladan yang selalu menawan
sepanjang jaman. Selayaknya bagi kita berbangga memiliki tokoh
pemimpin-pemimpin agung. Rasa bangga yang dituntut sebuah implementasi nyata
dalam diri generasi penerusnya, karena umat senantiasa merindukan pemimpin umat seperti para sahabat; integritas Abu Bakar as-Siddiq r.a, Heroiknya Umar
bin Khattab r.a, Innovatifnya Utsman bin Affan r.a, serta ketulusan dan kecerdasan
Ali bin Abi Thalib r.a. Semoga kita mampu menjadi pemimpin yang siap
bertanggung jawab dihadapan-Nya. Amien...
0 comments:
Post a Comment