Wednesday, March 6, 2013

Belajar Leadership Ala Sahabat Nabi



Belajar Leadership  Ala Sahabat Nabi
Oleh : Rahmatullah Ibnu Galiel*


”Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungajawaban atas kepemimpinannya. seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya.Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya.bahkan seorang pembantu atau pekerja rumah tangga yang memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimipin dan akan diminta pertanggungjawaban dari hal yang dipimpinnya.”
(HR.Bukhari Muslim)

Hadits diatas mengawali ulasan saya tentang leadership. Sebuah hadits yang sudah tidak asing lagi bagi kita karena sering kita jumpai dan dengar mungkin dari semenjak kita duduk di sekolah tingkat menengah (SMP/MTs). Hadits ini tergolong masyhur bagi umat Islam tetapi melihat kenyataan figur-figur pemimpin masa kini seolah secara perlahan esensi sabda nabi ini hanya berupa khazanah penghias lembaran-lembaran pustaka Islam. Cahaya benderang wahyu ilahi yang terucap oleh lidah suci sang nabi seolah redup hati umatnya, semakin redup dan terus memadam seiring dengan jauhnya jarak masa antara umatnya dengan masa hidup sang baginda nabi tercinta, Sayyidina Muhammad SAW.
Kesadaran mengkaji sirah para sahabat nabi dan keteladanan mereka dalam memimpin menjadi sangat penting demi menyadarkan umat akan agungnya sejarah para sahabat. Dalam pencarian karakter pemimpin ideal umat Islam sebenarnya kita telah memiliki rujukan nyata yaitu para sahabat nabi. Termasuk dalam realisasi hadits diatas yaitu tentang kepemimpinan, kita memiliki figur-figur agung yang patut kita contoh. Mereka telah terbukti mampu meresapi sabda mulia itu dengan nyata.  Sebut saja Abu Bakar as-Siddiq r.a yang terpilih menjadi Khalifah pertama dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif bijaksana. Umar bin Khattab r.a Khalifah kedua sangat terkenal akan ketegasannya dalam membela keadilan. Utsman bin Affan r.a masyhur akan langkah inovatifnya yaitu menyatukan ummat dalam satu mushaf al-Qur’an. Dan Ali bin Abi Thalib r.a Sepupu sekaligus menantu nabi yang dikenal cerdas dan sederhana tetap tegar mengemban amanah mulia menjadi khalifah keempat walau dihadang berbagai fitnah. Sehingga layak 4 sahabat nabi itu mendapat gelar mulia sebagai khulafaul rasyidin.
Mari kita  bahas tentang teladan kepemimpinan yang dicontohkan para sahabat nabi, sampai sejarah Islam telah mencatat mereka dengan tinta emas. Semoga menjadi bekal bagi kita bagaimana bersikap agar menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya.




1.      Niat tulus
Niat selalu menjadi nomor wahid dalam setiap gerak-gerik seorang muslim terlebih dia seorang pemimpin. Shalat butuh niat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain selalu sepaket dengan niat, memangnya ada apa dengan niat? Yah karena niat adalah jiwa dari pekerjaan (ruhul ‘amal) wajar kalau imam nawawi dalam kitab ‘Arbain Annawawiyah,  pertama kali yang dicantumkan adalah hadits tentang niat.  Karena peran niat sangat urgent dalam perjalanan sebuah pengabdian. Seorang pemimpin yang berniat tulus, dia tidak akan mengeluh ketika menemukan kesulitan, tidak akan bosan ketika dihadapkan pada rutinitas yang menjenuhkan. Tidak merasa berat hati untuk memikirkan lembaga serta warga yang dipimpinnya. Lihatlah para sahabat nabi, dengan niat tulus mencari ridho Allah dan ridho rosulullah mereka tetap tegar menghadapi berbagai ujian yang menerpa kaum muslimin. Tidak pernah ada kata “bosan” terlontar dari bibir dan hati mereka, padahal tak terbayangkan oleh kita betapa beratnya perjuangan menegakan syari’at allah swt. ditengah-tengah perlawanan kaum Kafir dan yahudi. Dan bagaimana sengitnya peperangan yang harus dihadapi para sahabat nabi.. Begitupun sepeninggal nabi, para sahabat dengan niat tulusnya mampu memikul estafeta dakwah islamiyah sehingga cahaya islam terus menyebar keberbagai penjuru dunia.

2.  Setia (Loyal)
Masih ingatkah kisah Abu Bakar as-Siddiq r.a ketika mendampingi baginda nabi berhijrah ke Madinah? beliau dengan setia menemani nabi didalam gua tsur, di gua itu beliau rela menahan sakit ketika kaki beliau dipatuk ular karena khawatir jikalau nabi yang sedang tertidur pulas dipangkuannya kaget dan terbangun.  Disepanjang jalan menuju madinah Abu Bakar as-Siddiq r.a berpindah-pindah posisi kadang disamping kanan nabi, disamping kiri nabi, didepan Nabi karena khawatir ada musuh didepan, kadang dibelakang  nabi khawatir ada musuh dari arah belakang. Loyalitas yang dimiliki Abu Bakar as-Siddiq r.a mengajarkan kepada kita akan urgensitas sebuah kesetiaan terlebih dalam masa kritis.  Sifat loyal yang dahsyat ini membuat Abu Bakar as-Siddiq r.a dipercaya oleh nabi menjadi sahabat setianya dan menjadi wakilnya dalam mengimami shalat kaum muslimin ketika nabi berhalangan. Dan ketika pemilihan khalifah para sahabat dengan sepakat memilih Abu Bakar as-Siddiq r.a sebagai khalifah pertama untuk memimpin kaum muslimin pasca wafatnya baginda Nabi Muhammad Sallahu ‘alaihi wa sallam.

3.  Amanah (Trust)
Menjaga amanah dan mengembannya merupakan tugas paling berat seorang pemimpin. Terbayang dihadapannya amanah yang sangat berat yaitu memimpin umat sepeninggal nabi. Wajar beliau menangis karena bagi jiwa-jiwa para sahabat nabi, sabda tentang amanah seorang pemimpin yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah swt masih terngiang jelas ditelinga dan melekat dihati. Hal ini jarang sekali kita temukan dalam diri para pemimpin masa kini, selain berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan,  para pemimpin terpilih saat ini amat sangat  penuh suka cita menyambut kemenangannya. Memang masih dalam tarap kewajaran menyambut kemenangan dengan meriah tetapi yang amat disayangkan adalah integritas terhadap amanat yang berat pertanggung jawabannya seakan tidak terlihat  dalam benak mereka.
Kisah agung tentang menjaga nilai luhur sebuah amanah dicontohkan juga oleh Umar bin Khattab r.a : Demi sebuah amanah beliau rela berkeliling mengontrol keadaan rakyat yang dipimpinnya. Alkisah pada suatu malam ia mendapati seorang Ibu yang anaknya meraung-raung menangis disekeliling kuali yang sedang direbus diatas api. Umar bin Khattab r.a bertanya kenapa anak itu menangis? Ibu itu menjawab “karena lapar” Umar bin Khattab r.a yang saat itu didampingi oleh Aslam sengaja berdiam disitu sambil menunggu tangisan anak itu reda, dan setelah lama tangisan anak itu belum reda juga. Kemudian Umar bin Khattab r.a bertanya kembali : lalu apa yang dimasak dikuali itu? Ibu itu menjawab liat saja sendiri, lalu dibukanya tutup kuali itu, dan ternyata kagetlah Umar bin Khattab r.a karena ternyata kuali itu berisi batu  yang sengaja dimasak oleh Ibu itu untuk mengelabui anaknya supaya sabar menunggu dan tertidur. Hati Umar bin Khattab r.a seperti tersayat maka bergegaslah Umar bin Khattab r.a pergi ke gudang untuk mengambil sekarung gandum dan  dipikulnya sendiri diatas punggungya untuk dibawanya ketempat perempuan itu, Subhanallah...kira-kira masih ada gak yah jaman sekarang tipe pemimpin yang seperti Umar bin Khattab r.a. Rela berkorban menanggalkan baju kebesaran sebagai khalifah demi kesejahteraan rakyatnya? Penulis berharap semoga saja masih ada.
4. Keberanian & Keteguhan hati (Courage)
Keberanian serta keteguhan hati merupakan salah satu modal pokok mentalitas pemimpin. Ya para sahabat nabi semuanya memiliki keberanian & keteguhan hati. Bagaimana tidak? Mereka berani mengangkat senjata berjihad di jalan allah dalam memerangi kaum musyrikin yang memerangi kaum muslimin dan berusaha memadamkan syiar islam. Sebuah keberanian yang dilandasi keteguhan hati bahwa pertolongan dari Allah swt senantiasa menyertai.
                        Mental berani dan keteguhan hati semacam ini yang harus senantiasa tertanam dalam diri kita.  Seharusnya para pemimpin muslim memiliki mentalitas seperti yang dicontohkan para sahabat, mental baja dalam menegakan kebenaran. Bukan mental pengecut apalagi mental bermuka ganda ciri khas kaum hipokrit.

5. Pandangan Jauh kedepan (Vision)
            Seorang pemimpin harus memiliki pandangan jauh kedepan. Pencapaian yang direncanakan telah dipertimbangkan secara matang efek positif dan negatif yang akan ditimbulkan dikemudian hari. Sebuah contoh Keputusan Umar bin Khattab r.a dalam menggagas shalat tarawih agar dilakukan berjama’ah.  Sungguh keputusan yang berani, tetapi visi dari keputusan itu terasa membawa berkah bagi kemaslahatan umat dikemudian hari. Begitu juga ijtihad briliant Utsman bin Affan r.a dalam menseragamkan umat Islam dalam satu mushaf al-Qur’an.
            Dari contoh diatas kita bisa mempelajari akan pentingnya sebuah visi dalam diri seorang pemimpin. Karena pemimpin yang tidak memiliki visi tidak akan mampu mengatasi polemik yang timbul dihadapannya dengan baik dan bijaksana.

6.      Konsistensi terhadap kebenaran (Integritas)
Gambaran integritas yang tinggi pada diri sahabat nabi tentu tidak bisa kita pungkiri. Dalam perjalanan kepemimpinan khulafaul rasyidin, prinsip konsisten terhadap kebenaran begitu jelas tergambar. Sebuah contoh Abu Bakar as-Siddiq r.a di era kepemimpinannya mampu mengatasi berbagai polemik baru yang timbul  seperti munculnya nabi-nabi palsu dan golongan yang ingkar zakat. Demi mempertahankan kebenaran Abu Bakar as-Siddiq r.a dengan tegas memerangi mereka. Sehingga fitnah tersebut musnah dan tidak sampai menyebar luas.


7.      Kesederhanaan (Simplicity)
Menjadi khalifah atau seorang pemimpin, bagi para sahabat bukanlah hal prestisius yang membuat diri mereka jumawa dan meninggalkan prinsip kesederhanaan yang diajarkan rasulullah saw.  Tentu bukan perkara sulit bagi Abu Bakar as-Siddiq r.a untuk memiliki istana megah, singgasana beralas sutera jika ia menghendakinya, dan bisa saja Umar bin Khattab r.a demi kenyamanannya beliau mengangkat pengawal untuk menjaganya siang malam. Tetapi hal itu tidak terjadi, mereka lebih memilih menjadi pemimpin yang nyaman dalam kesederhanaan. Seperti dikisahkan tentang kagetnya utusan kaisar roma saat menemui Umar bin Khattab r.a yang sedang tertidur dibawah pohon, tanpa singgasana mewah, mahkota berhias permata, atau dijaga pengawal gagah. Dari kisah inilah masyhur pujian terhadap Umar bin Khattab r.a yang berbunyi : ‘Adalta Fa Aminta Fa Nimta Ya ‘Umar” artinya : “Wahai Umar karena kau adil maka kau aman, dan kau tertidur tenang”.


Dan masih banyak lagi nilai-nilai leadership  yang bisa kita petik dari sirah para sahabat.  Untaian mutiara teladan yang selalu menawan sepanjang jaman. Selayaknya bagi kita berbangga memiliki tokoh pemimpin-pemimpin agung. Rasa bangga yang dituntut sebuah implementasi nyata dalam diri generasi penerusnya, karena umat senantiasa merindukan  pemimpin umat seperti para sahabat;  integritas Abu Bakar as-Siddiq r.a, Heroiknya Umar bin Khattab r.a, Innovatifnya Utsman bin Affan r.a, serta ketulusan dan kecerdasan Ali bin Abi Thalib r.a. Semoga kita mampu menjadi pemimpin yang siap bertanggung jawab dihadapan-Nya. Amien...


Rahmatullah Ibnu Galiel. Lc.













* Warga KMB, santri FSDL, student @ AOU (American Open University)


0 comments:

Post a Comment