Wednesday, March 6, 2013

Saatnya Memperjelas Statement “ ISLAM YES, POLITIK NO”.



Saatnya Memperjelas Statement “ ISLAM YES, POLITIK NO”.
Oleh: Ikhsanuddin*


MUQODDIMAH 

“Islam Yes, Politik No”. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar atau membaca statement tersebut. Ya, itu adalah pernyataan dari seorang cendekiawan muslim Indonesia, Nurcholis Madjid (alm). Walaupun mungkin bisa dikatakan sudah lama, namun statement atau jargon ini ternyata masih ada pengaruhnya hingga saat ini. Sebagian elemen masyarakat masih memegang teguh pemisahan agama dan politik, karena melihat realitas perpolitikan yang terjadi saat ini penuh dengan kekotoran yang malah di khawatirkan akan menodai kesucian agama (Islam). Namun apakah benar Islam tidak mengenal politik?

Ada baiknya kita meninjau pengakuan jujur dari seorang orientalis: John L. Esposito dalam Islam and Politics. Dia  mengakui realitas sejarah umat Islam mulai masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku kepada aqidah Islam. Dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, dasar ideologi masyarakat maupun negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar dan bermuara pada Islam. Dari pengakuan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang orientalis pun tidak membutakan matanya akan Islam sebagai agama spiritual juga agama politik.

Begitu juga dengan seorang tokoh ilmuan di Universitas Yordania, Fathi al-Durayni dalam bukunya, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Hal inilah yang membedakan Islam dengan agama lainnya, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains atau keilmuan, dunia dengan akhirat,  aspek atau hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Beliau juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim khususnya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.

Pendapat al-Durayni ini sejajar dengan ungkapan Ibnu Taymiyyah, bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Imam al-Qardawi, didalam bukunya as-siyaasah as-syar’iyyah. Yang mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.




DEFINISI POLITIK


Kata politik berasal dari bahasa Yunani atau bahasa latin yaitu: politicos atau ploiticus yang artinya relating to citizen. Diartikan juga sebagai hubungan sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan. Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Dari pengertian diatas maka istilah politik dilihat secara bahasa menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda, politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama Salafush Shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya dalam al-Muhith, siyasah diambil dari kata (sasa–yasusu). Dalam kalimat (Sasa ad-Dawaba Yasusuha Siyasatan) berarti: Qama ‘alaiha wa Radlaha wa Adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan Sasa al-Amra artinya Dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Kata Sasa-Yasusu-Siyasatan yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun  atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan.

Jika dalam bahasa Inggris, politik identik dengan kekuasaan, maka dalam bahasa Arab arti Siyasah lebih menekankan kepada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan perpolitikan dewasa ini. Maka wajar saja jika perpolitikan yang terjadi sekarang ini lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Fungsi politik inilah yang saat ini merajalela, yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat dalam masalah siapa mendapat apa? kapan dan bagaimana?. Inilah yang digunakan oleh para politikus saat ini sebagai dalil untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal. Padahal jikalau kita ulas lebih dalam tentang pengertian politik menurut Islam hal-hal inilah yang harus dihindari oleh politikus-politikus Islam.

POLITIK ISLAM 

Politik (siyâsah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut. Maka daripada itu, politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.


        Definisi ini juga diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin.
Rasulullah saw bersabda :
“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari).

           Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:
"Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah'. (H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim).

Kemudian Rasulullah juga bersabda di dalam hadist lain, tentang keutamaan penyelarasan urusan dunia dan akhirat.
"Barang siapa yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (Muslimin). (H.R. Thabrani).

Pengertian diatas merupakan pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari definisi ini pula, dapat kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku, yaitu Negara dan umat (rakyat), kemudian meliputi pengaturan dalam negeri dan luar negeri, dan yang terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum Islam. Terkait dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa per-undang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta (Allah swt), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (asyâ) dan perbuatan (af’âl) adalah Allah swt sebagai Pembuat Hukum (al Syari’).

Sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an :
قال تعالى :( إن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفاصلين )
Yang artinya :
“Menetapkan hukum hanyalah milik Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.” (QS, Al-An’am : 57). 

Atas dasar inilah, maka dalam Islam kedaulatan berada ditangan Syara’ bukan ditangan rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al-Qur’an dan Hadits serta apa yang ditunjuk atau yang diterangkan oleh keduanya berupa Ijma sahabat dan Qiyas syar’iyyah. Ke-empat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara’ (syari’at Islam). Mayoritas ulama Islam bersepakat atau tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah al-Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al Syaukani, beliau menyatakan tidak adanya perselisihan dalam masalah ini.

KESIMPULAN 

Mendefinisikan politik Islam dengan apa yang terjadi dengan perpolitikan sekarang ini malah akan membawa kepada kekaburan pengertian politik yang diambil oleh Islam. Secara bahasa pun, Islam mengambil pengertian politik dari kata Siyasah yang berarti pengaturan urusan umat, bukan pengertian politik saat ini yang menekankan kepada kekuasaan. Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga kemurnian ajarannya (agamanya) menolak politik yang sekarang diterapkan oleh negeri ini juga oleh parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai tameng atau sebagai pelindung dalam meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi kenyataan. Alih-alih ingin menerapkan syariah Islam melalui jalur politik, namun yang diambil adalah politik dalam bingkai sekuler yang mengakibatkan dirinya terjerumus dalam kekacauan.

Perbedaan penekanan dalam penggunaan istilah antara politik dan Siyasah, bukan berarti harus ada penggantian dari kata politik dengan kata Siyasah. Karena secara subtansi pengertian keduanya diambil dari realitas aktivitas politik yang sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat baik di dalam ataupun di luar negeri. Perbedaannya hanyalah dari sisi penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai dengan ideologi dan kepercayaannya. Wallahu’alam.














* Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar-Cairo, Syari'ah Islamiyah

0 comments:

Post a Comment