Saatnya Memperjelas Statement “ ISLAM YES, POLITIK NO”.
Oleh: Ikhsanuddin*
MUQODDIMAH
“Islam Yes,
Politik No”. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar atau membaca
statement tersebut. Ya, itu adalah pernyataan dari seorang cendekiawan muslim Indonesia,
Nurcholis Madjid (alm). Walaupun mungkin bisa dikatakan sudah lama, namun
statement atau jargon ini ternyata masih ada pengaruhnya hingga saat ini.
Sebagian elemen masyarakat masih memegang teguh pemisahan agama dan politik,
karena melihat realitas perpolitikan yang terjadi saat ini penuh dengan
kekotoran yang malah di khawatirkan akan menodai kesucian agama (Islam). Namun
apakah benar Islam tidak mengenal politik?
Ada baiknya kita
meninjau pengakuan jujur dari seorang orientalis: John L. Esposito dalam Islam
and Politics. Dia mengakui realitas sejarah umat Islam mulai
masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku kepada aqidah Islam. Dia
menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian
untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah
dan Abbasiah, dasar ideologi masyarakat maupun negara adalah Islam. Lebih
lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga
peradilan, pendidikan dan sosial berakar dan bermuara pada Islam. Dari
pengakuan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang orientalis pun tidak
membutakan matanya akan Islam sebagai agama spiritual juga agama politik.
Begitu juga
dengan seorang tokoh ilmuan di Universitas Yordania, Fathi al-Durayni dalam
bukunya, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm,
berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama.
Hal inilah yang membedakan Islam dengan agama lainnya, Islam menghubungkan
agama dengan politik, agama dengan sains atau keilmuan, dunia dengan
akhirat, aspek atau hal-hal yang
biasanya dilihat secara terpisah. Beliau juga menjelaskan bahwa segala aktivitas
seorang Muslim khususnya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.
Pendapat
al-Durayni ini sejajar dengan ungkapan Ibnu Taymiyyah, bahwa kekuasaan politik
merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Pandangan
serupa juga dikemukakan oleh al-Imam al-Qardawi, didalam bukunya as-siyaasah
as-syar’iyyah. Yang mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara
Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari hakikat Islam
itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau
merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.
DEFINISI POLITIK
Kata politik
berasal dari bahasa Yunani atau bahasa latin yaitu: politicos atau ploiticus
yang artinya relating to citizen. Diartikan juga sebagai hubungan sosial
yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan
publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk
merumuskan dan menerapkan kebijakan. Sedangkan dalam kamus besar bahasa
Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan. Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara
lain. Dari pengertian diatas maka istilah politik dilihat secara bahasa
menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk
dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda,
politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di
dalam buku-buku para ulama Salafush Shalih dikenal istilah siyasah
syar’iyyah, misalnya dalam al-Muhith, siyasah diambil dari kata (sasa–yasusu).
Dalam kalimat (Sasa ad-Dawaba Yasusuha Siyasatan) berarti: Qama ‘alaiha wa
Radlaha wa Adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan
Sasa al-Amra artinya Dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Kata Sasa-Yasusu-Siyasatan
yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih
hewan dan mengatur dan memelihara urusan.
Jika dalam
bahasa Inggris, politik identik dengan kekuasaan, maka dalam bahasa Arab arti Siyasah
lebih menekankan kepada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam
mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan perpolitikan dewasa ini.
Maka wajar saja jika perpolitikan yang terjadi sekarang ini lebih mengedepankan
perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Fungsi politik inilah
yang saat ini merajalela, yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat
dalam masalah siapa mendapat apa? kapan dan bagaimana?. Inilah
yang digunakan oleh para politikus saat ini sebagai dalil untuk meraih
kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal. Padahal jikalau kita ulas
lebih dalam tentang pengertian politik menurut Islam hal-hal inilah yang harus
dihindari oleh politikus-politikus Islam.
POLITIK ISLAM
Politik
(siyâsah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik
dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung
melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam
pengaturan tersebut. Maka daripada itu, politik Islam berarti pengaturan urusan
umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Definisi ini juga diambil dari
hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya,
serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin.
Rasulullah saw bersabda :
“Seseorang yang ditetapkan Allah
(dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat
kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari).
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw.
bersabda:
"Dahulu, Bani Israil selalu
dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali
seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan
nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah'. (H.R. Imam Muslim dari
Abi Hazim).
Kemudian Rasulullah juga bersabda
di dalam hadist lain, tentang keutamaan penyelarasan urusan dunia dan akhirat.
"Barang
siapa yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya,
maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah, dan barang siapa yang
tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka
(Muslimin). (H.R. Thabrani).
Pengertian diatas
merupakan pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari
definisi ini pula, dapat kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua
pelaku, yaitu Negara dan umat (rakyat), kemudian meliputi pengaturan dalam
negeri dan luar negeri, dan yang terakhir adalah sumber legislasinya adalah
hukum Islam. Terkait dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa per-undang-undangan
harus berasal dari Sang Pencipta (Allah swt), karena Dialah yang telah
menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak
mengeluarkan hukum atas sesuatu (asyâ) dan perbuatan (af’âl) adalah Allah swt
sebagai Pembuat Hukum (al Syari’).
Sebagaimana termaktub di dalam
al-Qur’an :
قال تعالى :( إن الحكم إلا لله يقص الحق وهو
خير الفاصلين )
Yang artinya :
“Menetapkan hukum hanyalah milik
Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
terbaik.” (QS, Al-An’am : 57).
Atas dasar
inilah, maka dalam Islam kedaulatan berada ditangan Syara’ bukan ditangan
rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al-Qur’an dan Hadits serta apa
yang ditunjuk atau yang diterangkan oleh keduanya berupa Ijma sahabat dan Qiyas
syar’iyyah. Ke-empat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum
syara’ (syari’at Islam). Mayoritas ulama Islam bersepakat atau tidak berbeda
pendapat dalam menentukan siapakah al-Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al Syaukani, beliau menyatakan tidak
adanya perselisihan dalam masalah ini.
KESIMPULAN
Mendefinisikan
politik Islam dengan apa yang terjadi dengan perpolitikan sekarang ini malah
akan membawa kepada kekaburan pengertian politik yang diambil oleh Islam.
Secara bahasa pun, Islam mengambil pengertian politik dari kata Siyasah yang
berarti pengaturan urusan umat, bukan pengertian politik saat ini yang
menekankan kepada kekuasaan. Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga
kemurnian ajarannya (agamanya) menolak politik yang sekarang diterapkan oleh
negeri ini juga oleh parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai
tameng atau sebagai pelindung dalam meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi
kenyataan. Alih-alih ingin menerapkan syariah Islam melalui jalur politik,
namun yang diambil adalah politik dalam bingkai sekuler yang mengakibatkan
dirinya terjerumus dalam kekacauan.
Perbedaan
penekanan dalam penggunaan istilah antara politik dan Siyasah, bukan berarti
harus ada penggantian dari kata politik dengan kata Siyasah. Karena secara
subtansi pengertian keduanya diambil dari realitas aktivitas politik yang
sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat baik di dalam ataupun di luar negeri.
Perbedaannya hanyalah dari sisi penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai
dengan ideologi dan kepercayaannya. Wallahu’alam.
* Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar-Cairo, Syari'ah Islamiyah
0 comments:
Post a Comment