Peran K & J di
Banten
Oleh : Iwan Abdul
Aziz*
Di Banten yang
pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat
terhadap agama, sudah sewajarnya kyai menempati kedudukan yang signifikan dalam
masyarakat. Kyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional,
tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin
masyarakat. Kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal,
terutama di pedesaan. Pengaruh kyai melewati batas-batas geografis pedesaan
berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan,
adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai
dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang
Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru
spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas
merupakan simbol-simbol kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku
sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir
kepada Allah. Karena itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Ia memiliki jaringan komunikasi yang
sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat. Jaringan itu terbentuk melalui
organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat, partai politik, guru-murid dan
tarekat. Di samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus
batas-batas hirarki pedesaan di Banten. jawara dikenal sebagai seorang yang
memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi
kekuatan supranatural (magic), seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani
oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup
terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan
kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian
masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif,
sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan
bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan
supranatural.
Peran Sosial Kyai Peran-peran
sosial keagamaan kyai di Banten dapat dirincikan dengan beberapa bagian, yaitu:
A. Guru Ngaji
Peran kyai yang paling awal
adalah mengajarkan pembacaan al-Qur’an dengan baik kepada para santrinya. Tugas
kyai dalam hal ini adalah mengajarkan pembacaan huruf-huruf hijâiyyah dan
kaidah-kaidah pembacaan al-Qur’an yang benar, yang dikenal dengal ‘ilm tajwîd.
Dalam tahapan yang lebih maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah, yakni untuk para qâri dan
qâriah yang memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qâri dan
qâriah diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat
al-Qur’an. Sekarang ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan oleh seorang
kyai yang memiliki pesantren, tetapi juga oleh para santri, yang biasanya
dipanggil ustâdz, yang pernah mengeyam pendidikan pesantren dan memiliki
kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah
pembacaannya dalam ‘lmu tajwîd. Pelaksanaan pengajarannya biasanya
diselenggarakan di rumah ustâdz atau di mushola yang terdekat dengan
kediamannya. Pengajaran al-Qur’an dilakukan pada waktu-waktu selesai sholat lima
waktu, seperti: setelah sholat magrib, subuh dan ashar. Para pesertanya
biasanya anak-anak dan kaum remaja di sekitar kediaman ustâdz tersebut.
B. Guru Kitab.
B. Guru Kitab.
Seorang santri yang telah lancar
membaca ayat-ayat al-Qur’an, mulai berkenalan dengan kitab-kitab Islam klasik.
Memang tugas utama seorang kyai di pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab
Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafi’i.
Pengajaran membaca al-Qur’an, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren,
yang biasanya masih kecil dan belum terkenal, sebagai dasar dari suatu proses
pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan utamanya
adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab
Islam klasik, yang dikenal dengan kitab kuning.
Kemashuran seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut. Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren yang kecil dan kurang terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar. Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah pesantren yang cukup besar dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup banyak tentang kitab-kitab besar.
Kemashuran seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut. Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren yang kecil dan kurang terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar. Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah pesantren yang cukup besar dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup banyak tentang kitab-kitab besar.
C. Guru Tarekat
Seorang kyai yang kharismatik
selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti yang telah diterangkan
terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat. Pengajaran tarekat di Banten
memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebuah “pesantren” tua yang terkenal
bernama Karang, yang terletak di sekitar Gunung Karang, sebelah barat kota
Pandeglang sekarang diduga telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam Serat
Centhini, dijelaskan bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah
belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru “Seh Kadir
Jalena”; yang diduga dimaksudkan ia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan
dengan sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani. Hal tersebut juga dikuatkan dengan
tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga yang berguru di
sebuah perguron di Karang di bawah bimbingan seorang guru yang berasal dari
Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng
Karang. Oleh karena itu wajar apabila para tarekat sudah sangat dikenal di
lingkungan istana kesultanan Banten semenjak awal didirikannya kesultanan itu.
Pendiri kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah dibai’at untuk menganut dan
mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah.
D. Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib).
D. Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib).
Para kyai yang menjadi mursyid
suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat tetapi
juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah atau ilmu-ilmu ghaib. Banten hingga kini
memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat bersemayamnya
ilmu-ilmu gaib sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi
ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh,
pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapat
kekayaan, kedudukan dan perlindungan supranatural serta kedamaian jiwa. Kyai
yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H. Muhamad
Hasan Amin) dari Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan dari Kyai Asnawi
Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyah yang sangat terkenal di
Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan rakyat tentang
kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti kemampuannya untuk melihat
apa yang belum terjadi, karier yang cepat atau kekayaan yang datang secara
tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa orang yang telah mendapatkan restunya.
Kyai lain yang juga dikenal memiliki ilmu hikmah adalah abuya Dimyati, yang
memimpin sebuah pesantren di Cidahu, Pandeglang.
E. Mubaligh.
Seorang kyai tidak hanya tinggal
diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya atau
menetap di suatu tempat dan umatnya datang untuk minta nasehat, doa dan
kebutuhan praktis lainnya. Kyai juga aktif melakukan ceramah agama kepada
masyarakat luas secara berkeliling, sehingga disebut dengan mubâligh (orang
yang menyampaikan pesan agama Islam).
Dalam pemberontakan di Cilegon
yang terjadi pada tahun 1888, peran para mubâligh sangat penting dalam
memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari
para guru tarekat, para syarîf dan sayyid, banyak berkhutbah secara berkeliling
untuk melakukan pembinaan kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan kerohanian
rakyat. H. Udi Mufrodi, salah seorang kyai, sering memberikan ceramah keagamaan
pada berbagai acara keagamaannya di wilayah Banten dan daerah-daerah lain
seperti Lampung dan Jakarta. Menurutnya bahwa untuk menjadi penceramah/mubâligh
tidak hanya memiliki kemampuan memahami pesan-pesan agama, retorika yang baik
tetapi juga harus mampu memahami kehendak masyarakat dan memiliki ilmu-ilmu
batin. Sebab, menurutnya menjadi mubâligh itu penuh dengan tantangan, karena
mungkin pesan-pesan yang disampaikan itu banyak bersinggungan dengan
kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
Peran Sosial Jawara
Adapun peran sosial yang sering
dimainkan oleh para jawara diantaranaya adalah :
A. Jaro.
Di daerah pedesaan di wilayah
Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang
sering disebut jaro. Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada
zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama
jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan
mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang
jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa
(bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan
pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid).
B. Guru silat.
Sejarah ilmu persilatan di Banten
memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa
pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah
dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. Dalam masyarakat Banten dikenal
berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi,
Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. Setiap perguron memiliki
jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya.
Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan
Sochib.
C. Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang jawara yang terkenal
biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu
“batin” atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural
untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam,
tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan
pengobatan, seperti patah tulang dan tukang pijit. Kecenderungan terhadap
kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang
sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi yang
melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian.
Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah
Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai
pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan
sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Bentuk-bentuk elmu
yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk
melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat
atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter
gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau
kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan
sebagainya.
D. Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Peran jawara yang masih dekat
dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan
oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak
semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu
justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan.
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.
E. Tentara Wakaf dan Khodim Kyai
Peran jawara sebagai “tentara
wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada
acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada
masa Orde Baru “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan
pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus
partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di
negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka
sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada
partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga
keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan menerima tawaran
tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik. Jawara yang sebenarnya adalah
“khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak
setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai
“khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni:
membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun
dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal
itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang
materialistik.
Penutup
Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.
Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.
* Mantan gubernur KMB
0 comments:
Post a Comment