Sunday, March 10, 2013

Kontribusi Wanita Cerdas dalam Mencetak Generasi Berkualitas



Kontribusi Wanita Cerdas dalam Mencetak Generasi Berkualitas
Oleh : Lailatul Qudsiah*



            Menjadi seorang wanita merupakan sebuah anugerah luar biasa yang telah Allah SWT tetapkan untuk kita. Betapa banyak kemuliaan dan keutamaan yang terpaparkan dalam Al-Qur’an juga Hadits. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah Hadis sahih, di antara keutamaan wanita adalah do’a wanita lebih maqbul daripada laki-laki, disebabkan lebih besar dan kuatnya kasih sayang wanita daripada laki-laki. Ketika Rasul ditanya akan hal tersebut Beliau menjawab: “Ibu lebih penyayang dibanding bapak, dan do’a seorang penyayang tidak akan sia-sia.”
            Wanita dengan fitrahnya terlahir cantik, dan pula mencintai yang cantik lagi indah. Namun, cantik saja tidak cukup. Betapa pun tingginya nilai kecantikan seorang wanita akan terasa hambar jika tidak dibarengi dengan nilai sebuah kecerdasan.
Kecerdasan tak selalu dilihat dari kuatnya daya ingat yang dimiliki atau jejeran nilai fantastis dari catatan akademis. Tapi lebih pada kesadaran  seorang wanita itu sendiri untuk menampilkan dirinya sebagai sosok mulia dengan segenap nalurinya yang memang indah dan pantas untuk dihormati.
Selain cerdas wanita juga harus pintar. Kenapa saya memisahkan kedua kata tersebut, 'cerdas dan pintar’? Bukankah sama saja?
Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan Allah-lah Sang Perencana terbaik bagi makhluk-Nya, temasuk perancangan sisi intelektualitas manusia. Cerdas adalah alat sementara pintar adalah hasilnya. Alat ada untuk memudahkan suatu pekerjaan, dan harus digunakan sesuai dengan petunjuk penggunaan alat tersebut. Jika tidak, maka alat akan cepat rusak bahkan akan menghasilkan suatu yang salah. Buku petunjuk untuk menggunakan alat (kecerdasan) yakni iman (islam) yang di dalamnya terdapat Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup. Jika tidak bisa menggunakan alat dengan baik maka akan memperoleh hasil yang salah. Maka pintar saja belum cukup, harus bisa cerdas pula menempatkan diri, cerdas menyikapi kondisi dan menghadapi segala permasalahan, dan tahu cara menggunakan kecerdasan sesuai dengan petunjuk panduan penggunaan alatnya.
Bersyukurlah kita karena terlahir dan hidup dalam bingkai Islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam sangat menjunjung tinggi derajat seorang wanita. Sebagai  seorang istri, seorang ibu bagi anak-anaknya, serta sebagai pendidik generasi.
Setiap wanita dengan ketentuan Allah SWT akan menjadi seorang ibu. Selama ini yang terjadi adalah kecerdasan wanita lebih diarahkan pada eksistensi diri ke arah lapangan kerja. Padahal wanita sebagai calon ibu rumah tangga perlu mendapat pendidikan khusus mengenai tata cara mendidik anak. Dimana seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Tingginya kebutuhan hidup mungkin merupakan satu alasan yang membuat seorang ibu harus membantu sang ayah mencari nafkah. Keadaan ini seringkali membuat ibu lalai dalam menjalankan tugas utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu sekaligus pengatur rumah tangga). Banyak waktu yang dihabiskan seorang ibu di luar rumah, dan tanpa sadar hal ini secara tidak langsung sedikit banyak telah memangkas waktu untuk mendidik dan membimbing anak.
Dengan banyaknya ibu yang berkiprah di luar rumah utuk berkarir atau mencari nafkah, seringkali memberikan peluang lebih besar untuk terjadinya disharmonisasi dalam keluarga. Komunikasi antara ibu dan anak terhambat, bahkan tak jarang anak menjadi terabaikan. Karena merasa terabaikan, sang anak bisa saja mencari kesenangan di luar yang, na’uzubillah, mendekatkan mereka pada kerusakan moral dan sebagainya.
Oleh sebab itu, seorang wanita yang telah menjadi ibu dituntut agar memiliki kepribadian yang tangguh dan juga memiliki ideologis, yakni kepribadian Islam (Syahshiah Islam) yang berguna untuk mendidik anak agar menjadi generasi yang juga berkepribadian Islam. Berkepribadian islam berarti memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) secara islami, yang, berlandaskan akidah islam. Dan kepribadian Islam didapat dengan Tafaqquh Fi Ad-Din. Maka, Tafaqquh Fi Ad-Din menjadi wajib ‘ain hukumnya bagi setiap individu seorang muslim, termasuk para wanita atau para ibu.
Mungkin kita sering mendengar perkataan bahwa wanita adalah tiang Negara. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan untuk menggambarkan peranan seorang wanita atau ibu. Karena sesungguhkan madrasah pertama bagi anak bukanlah PG ataupun PAUD. Sadar tidak sadar, dari rumahlah pertama kali anak belajar, dan ibulah guru pertama bagi sang anak. Ibu mempunyai pengaruh besar dalam membentuk kepribadian anak. Ibu cerdas melahirkan generasi cerdas. Dan sekali lagi, cerdas disini bukan berarti cerdas dalam akademik saja, tapi juga cerdas dalam menyikapi segala kondsi dan permasalahan.
Seorang wanita atau ibu yang cerdas juga akan menyadari bahwa anak adalah amanah, dan mendidik anak adalah sebuah kewajiban bukan pilihan. Rasulullah bersabda, “Didiklah anakmu, dan baguskanlah akhlaknya dengan mengajarkan kepada mereka olah jiwa dan memperbaiki akhlak.” (HR. Ad-Dailami)
Sebagaimana telah ditetapkan dalam syari’at islam, bahwa kedudukan utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ibulah yang dapat membentuk pribadi-pribadi tangguh dalam diri anaknya. Ia mampu membentuk dan mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi mu’min salih dan jundi yang tangguh. Sehingga bisa jadi sang anak akan mempunyai mental seorang pemimpin yang salih dan cerdas, serta menjadi generasi berkualitas.
Namun, tentunya diperlukan usaha yang ekstra keras dan kesabaran luar biasa untuk mewujudkan hal itu. Untuk mewujudkan generasi berkualitas diperoleh dari proses pendidikan dan pembinaan. Kedua hal tersebut merupakan proses panjang dan berkesinambungan. Dimana pendidikan tak hanya didapatkan anak sejak ia masuk sekolah, tapi juga sejak dalam kandungan, lalu sejak ia terlahir kedunia, hingga akhirnya kembali pada Allah SWT.
“Ibu adalah dahan pijakan anak untuk meraih pucuk kehidupannya, bila dahan itu patah, maka anak akan jatuh bersamanya dan tidak akan pernah sampai pada puncak.”
Wallahu A’lam bi Ash-Shawwab…


* Mahasiswi Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin Tingkat II


0 comments:

Post a Comment